Munich 1972. Memori yang paling membekas bagi pencinta olahraga tentang kota dan tahun tersebut ialah tragedi penyerangan terhadap atlet-atlet Israel yang bertanding dalam Olimpiade. Namun, Olimpiade Munich 1972 juga menjadi tonggak sejarah olahraga bulutangkis manakala Rudy Hartono dan kawan-kawan menggelar demo bulutangkis pada multievent olahraga kuadrenial terbesar dunia tersebut.
Dua puluh tahun kemudian, Barcelona 1992 menjadi saksi medali pertama untuk cabang olahraga bulutangkis dalam Olimpiade. Indonesia berbangga karena menjadi bagian dari peristiwa monumental tersebut dengan merebut medali lewat perjuangan Susi Susanti, Alan Budi Kusuma, Eddy Hartono, Gunawan, Ardy B Wiranata, dan Hermawan Susanto.
Empat puluh tahun kemudian, London 2012 menuliskan sejarah lagi, manakala Indonesia untuk pertama kali sejak inaugurasi bulutangkis Olimpiade pulang tanpa membawa medali. Pada pihak lain, muncul sepasang pebulutangkis Rusia dan seorang srikandi bulutangkis India mencatatkan nama mereka sebagai yang pertama bagi negara masing-masing yang meraih medali dari cabang olahraga bulutangkis. Indonesia bersedih, kemudian mungkin merasa malu karena ikut terlibat dalam skandal "match-throwing" dan terkena hukuman dari BWF cq. IOC.
Dari momentum London 2012 didapatkan pelajaran berharga, yakni bahwa bulutangkis telah sedemikian mendunia. Dari pantai Barat Afrika hingga lautan Pasifik bulutangkis telah menyapa. Ini sebuah "shock therapy" bagi Indonesia yang merupakan kekuatan tradisional bulutangkis dunia. Apakah ini sebuah siklus yang harus dijalani begitu saja? Tentu saja tidak. Ini bukan siklus melainkan proses yang tidak boleh terputus.
Kemudian muncul banyak gagasan, ini dan itu. Salah satu ide yang terkini ialah rencana pendirian sekolah bulutangkis. What??!! Jadi selama ini apa yang telah terjadi dan dilakukan? Seperti terlena dengan sebutan "badminton powerhorse", kemudian jatuh terbanting dan sulit untuk bangkit lagi. Bukan hal yang fenomenal jika Indonesia mendirikan sekolah bulutangkis. Jangan anggap ini sebagai inovasi karena terasa aneh bagi Indonesia berdasarkan nama besarnya di dalam arena bulutangkis dunia.
Indonesia terlambat empat dekade di dalam memunculkan ide sekolah bulutangkis. Selama itulah jika orientasinya adalah Olimpiade. Akan tetapi kita tidak perlu mengatakan "seharusnya", "semestinya", "alangkah baiknya", dan sebagainya. Kita tetap harus mendukung gagasan yang positif tersebut. Kita tetap harus mendukung niat-niat baik untuk membangun (kembali) bulutangkis Indonesia. Hanya saja, jika prestasinya kelak belum memuaskan, maka kita harus memakluminya. Waktu 40 tahun bukan waktu yang singkat dan selama itulah di luar sana telah terjadi mobilisasi, dinamisasi, dan sosialisasi bulutangkis sedemikian rupa, tanpa sepengetahuan kita. Hingga pada suatu saat kemudian kita mendapati nama-nama yang "nyaris mustahil" tercantum di dalam daftar atlet bulutangkis internasional, seperti Zaitsava, Stapusaityte, Allegrini, Yigit, Ingolfsdottir, dan Sotomayor.
Jayalah selalu bulutangkis Indonesia!